Lajang Di Usia 38 Tahun antara Nggak Laku atau Terlalu Pemilih?
Kok masih betah melajang sih?
Entah itu pertanyaan keseribu sekian yang dipertanyakan oleh orang-orang saat tahu status saya masih lajang. Apalagi ketika mereka tahu usia saya sudah mendekati kepala 4. Seperti scanner yang ada di pusat perbelanjaan, mata mereka akan menyapu diri saya dari bawah sampai atas dengan tatapan seolah mengatakan, “kamu menyedihkan.”
Easy, buat saya pemandangan itu sudah bukan hal baru lagi. Sejak kecil, sudah kenyang sama pendapat miring orang-orang tentang saya, berasa ditempa sejak dini guys. But, kembali lagi bahwa kita memang tidak bisa mengendalikan pendapat orang tentang kita.
Well, daripada kalian bertanya-tanya kenapa sampai usia hampir 40 ini masih betah menyendiri. Ini dia jawabannya.
Everybody Has Own Timeline
Setiap orang itu memiliki perjalanan sendiri. Nggak ada yang sama meski saudara sedarah. Jadi, ingat jaman kuliah Psikologi Perkembangan yang selalu mengedepankan bahwa ‘setiap manusia itu unik.’
Saya, kamu atau bahkan dia itu memiliki jalan hidup yang berbeda. Tidak ada aturan yang tepat kapan wanita harus menikah karena perjalanan menemukan jodoh juga sama rumitnya. Ada yang dipermudah, dan ada yang harus berkelok-kelok untuk menemukan pasangan hidupnya.
Like me.
Mungkin saja perjalanan saya dalam menemukan jodoh masih berliku, tapi percayalah saya sedang menikmati prosesnya.
Jodoh itu ibaratnya kelahiran dan kematian, di mana hanya Allah yang tahu kapan waktunya. Tugas kita hanya berdoa dan tentu saja berikhtiar dan sisanya serahkan saja pada Maha Pencipta.
Marriage is Long Term Relationship
Menikah itu merupakan sebuah hubungan dengan orang lain yang paling lama, sama hal dengan hubungan keluarga. Bedanya, kalau kamu sudah tidak kuat bersamanya, kalian boleh menjadi orang asing lagi.
Kalau di dalam agama islam, pernikahan itu merupakan ibadah terpanjang dan tentu saja yang namanya ibadah itu nggak mudah. Itulah alasannya kenapa Allah menjanjikan surga karena memang sesulit itu.
Jatuh cinta mungkin saja hal perkara mudah, tapi bagaimana tentang meletupkan perasaan cinta, komunikasi yang sehat dan tetap nyaman dengan pasangan itu bukan perkara yang mudah.
Tentu saja permasalahan setelah menikah bakal lebih kompleks dibandingkan saat masih lajang. Dibutuhkan banyak bekal dan pengetahuan supaya nanti tidak terhenti di tengah jalan.
Membereskan yang Berkaitan dengan Masalah Diri Sendiri
Setiap orang memiliki latar belakang hidup yang berbeda, seperti: pola pikir, pengasuhan, nilai-nilai budaya dan pengalaman hidup yang kadang dalam perjalanannya menimbulkan luka batin.
Luka batin yang belum terselesaikan terkadang menimbulkan masalah di kemudian hari, termasuk dalam hubungan relasi lawan jenis dan parenting akan diturunkan pada generasi selanjutnya.
Saya sendiri menyadari masih ada banyak PR yang berkaitan dengan diri saya sendiri akibat trauma pengasuhan yang pada akhirnya mempengaruhi bagaimana relasi saya dengan lawan jenis. Sambil menunggu jodoh, saya mulai memperbaiki luka masa lalu dan membenahi benang ruwet dalam kehidupan kita.
Bukankah menikah itu tujuannya mencari kedamaian, jangan sampai akibat luka yang belum selesai, keberadaan kita malah menyakiti pasangan dan juga anak-anak nantinya.
Intinya berdamailah dengan diri sendiri sebelum menjalin relasi dengan orang lain.
Sebab pasangan kita tidak bertanggung jawab terhadap luka yang kita hadapi sebelumnya. Paling tidak nanti saat bertemu calon suami, saya menjadi pribadi yang lebih baik.
Menyeleksi Calon Suami Tidak Sama Dengan Memilih Calon Pacar
Karena menikah itu merupakan ibadah terpanjang dalam hidup, maka seleksi untuk calon suami tentu saja lebih detail dari sekedar mencari calon pacar.
Pacar identik dengan belajar tentang relasi lawan jenis, sedangkan suami identik dengan membangun relasi dengan lawan jenis dalam waktu yang sangat lama. Dibutuhkan banyak pertimbangan untuk memilih suami.
Dulu, mungkin untuk memilih calon pacar saya lebih mengedepankan fisik. Beda lagi saat menikah, kriterianya jadi semakin panjang dan detail. Ya nggak papa karena kita memang sedang mencari seseorang yang akan menemani kita sepanjang waktu, 24 jam.
Dih kamu pemilih!
Pastinya dong, dalam pernikahan suami itu ibarat pemimpin yang harus kita patuhi. Salah pilih akan membuat hidup kita berada dalam neraka, apalagi stigma masyarakat tentang perceraian itu masih negatif. Suka dan duka dalam pernikahan harus kamu telan sendiri.
Seseorang pernah bilang, “seumur hidup itu terlalu lama untuk hidup dengan orang yang salah.”
Jatuh cinta itu memang perkara mudah, tapi bagaimana tetap menjaga cinta dalam waktu jangka yang lama itu perkara yang susah.
Jadi, pilihlah calon suamimu dari golongan yang terbaik dan jangan lupa untuk melibatkan sang Pemilik hati.
Dijulidin tetangga karena pilih-pilih, cuekin aja.
Baca juga:
- Teruntuk Tikha
- Patah Hati Di Usia 30-an, Hmm
- Pasangan Selingkuh, Siapa yang salah
- Cara Menjadi Lajang Berkualitas
Mengisi Tempayan Kebahagiaan Diri Sendiri
Menjadi istri merupakan tahapan paling kesepian untuk wanita. Di mana, saat lajang kamu bebas melakukan apapun, bertemu dengan siapa saja, membeli barang yang disukai atau melakukan hobi yang memang disukai.
Ketika menikah otomatis semua itu akan berkurang. Fokusnya kini beralih pada pasangan, anak dan keluarga. Ada banyak keinginan yang harus dipendam, bahkan untuk membeli skincare favoritmu. Semuanya memiliki prioritas yang berbeda.
Begitu juga perihal relasi. Saat lajang, kamu bebas berteman, baik perempuan atau laki-laki. Saat menikah, relasi kamu semakin menyempit. Kamu hanya berteman dengan orang-orang yang hanya disetujui oleh suami. Untuk urusan curhat pun harus-hati karena ada perasaan yang harus dijaga. Bukankah istri merupakan pakaian untuk suaminya?
Sebelum memutuskan untuk menikah, ada baiknya kita mengenal hal-hal apa yang bisa membuat kita tersenyum, di saat rumitnya perkara rumah tangga. Penuhi dulu rasa bahagiamu, hingga kamu bisa membagi rasa bahagia tersebut tanpa merasa pamrih dengan pasangan dan calon anakmu kelak.
Saat ini, saya sedang berupaya mengisi tempayan kebahagiaan tersebut.
Memperbaiki Relasi Dengan Orang Tua
Saya akui hubungan relasi dengan ortu, terutama Mami itu seperti hal Love-Hate Relationship. Ada semacam jarak yang kadang hadir sehingga membuat banyak perdebatan di antara kami.
Saya sadar, ada sisa luka batin dari pengasuhan yang masih tersisa. Namun, seiring waktu saya belajar memahami mengapa orang tua saya melakukan hal tersebut.
Allah sepertinya menginginkan saya untuk belajar memperbaiki relasi yang buruk dengan orang tua dan memberikan banyak kenangan lebih banyak untuk keduanya.
Menikah itu merupakan timeline dari Allah yang memang harus kita jemput dengan ikhtiar dan menunggu kapan waktu yang tepat.
Kalau ada yang tanya, ‘kapan saya nikah?”
Sekarang kalian sudah tahu, kan. Apa jawabannya?