Sebelum saya memberlakukan blog sebagai lahan pekerjaan, blog merupakan sarana yang nyaman buat berkeluh kesah. Menggantikan kegiatan menulis jurnal harian. Menuliskan segala perasaan yang mengganjal di hati dan membagikannya dengan orang lain.
Lihat saja tulisan-tulisan lama saya di media sosial yang lebih didominasi dengan tema personal/pribadi. Sengaja saya tidak menghapusnya supaya menjadi kenangan indah. Terkadang saya merasa geli sendiri kalau baca tulisan tersebut. Ya Tuhan, saya pernah mengalami masa-masa suram kala itu.
Saat itu saya masih muda dan labil. Semua persoalan campur aduk dengan emosi yang naik turun. Tidak hanya media sosial yang menjadi tempat curhat, namun berkelanjutan sampai ke blog. Blog saya kena getahnya.
Awalnya, saya pikir menumpahkan masalah pribadi ke medsos dan blog itu adalah hal yang wajar. Apalagi kala itu medsos adalah hal yang baru, jadi norak dikit bolehlah. Toh, semua orang melakukan hal yang sama.
Entah berapa kali dalam sehari memperbaharui medsos dengan celotehan, keluhan dan curhatan nggak jelas. Mana mikir orang lain suka atau tidak dengan konten yang kita buat. Pokoknya hati senang, perasaan lega setelah ‘nyampah’ di sana.
Sampai seorang teman di Facebook memberikan komentar yang cukup sengit. Intinya dia terganggu aktivitas saya yang sering memperbaharui status. Saya marah, nggak terima sampai. Wong ini linimasa akun pribadi. Terserah dong mau nulis apaan. Nggak suka mah berhenti mengikuti.
Ujungnya saya kena remove.
Berhari-hari saya memikirkan masalah ini. Bertanya dalam hati apa yang salah dengan tindakan saya. Merasa nggak enak hati, saya tanya pada beberapa teman dekat apakah dia merasa terganggu dengan kebiasaan saya ‘nyampah’ di Facebook. Satu orang bilang bahwa itu hal biasa karena dia juga melakukan hal sama tapi ada seseorang lagi yang jujur, bahwa dia nggak suka saya sering menulis status di Facebook apalagi isinya keluhan.
Oh, Oke. Ini sebuah persoalan.
Saya mulai belajar untuk menahan diri menumpahkan segala keluh kesah di medsos. Menyaring apa yang boleh dan tidak untuk dibagikan ke khalayak umum dan juga bahwa tidak semua orang harus tahu dengan segala emosimu. Hargailah mereka yang rela mengikutimu di media sosial.
Perlahan saya juga mengurangi topik curhatan di blog. Bukannya saya berhenti curhat sama sekali. Hanya saya memilih untuk mengemasnya dalam perspektif yang berbeda sehingga pembaca saya ikut mengambil manfaat dari apa yang saya alami.
Baca Juga: Dua Sisi Media Sosial
Menulis pengalaman pribadi di media sosial atau blog bukanlah hal yang dilarang. Hanya saja berikan batasan-batasan tentang apa yang boleh ditulis dan tidak. Pikirkan juga efek jangka panjang dari tulisan kita, jangan sampai kemudian hari menyakiti banyak pihak.
Sekali tulisan itu terunggah, rekam jejak akan melekat.
Siapkah kamu dengan reaksi masyarakat yang akhir-akhir ini menjadi kejam?
Kalau tidak. Tulis saja dalam jurnal harianmu. Toh, ini hanya media. Tujuannya sama, sebagai sarana katarsis alias pelepasan emosi.
Salam,
2 Comments. Leave new
mirip pengalaman pribadi saya nih,,, dulu nyampah banget di medsos,, mulai twitter, path, fb,,,, daaannn,,, hasilnya saya sadar sendiri ketika ada beberapa temen yang nyampah dan saya gak nyaman dengan tulisan-tulisannya. Saya berfikir, orang juga pasti merasa hal yang sama dengan tulisan saya.
semangat terus menginspirasi Mbak Tikha,,,
aku malah baru mulai nulis tentang pengalaman pribadi di blog:""") tujuannya selain sebagai upaya 'healing' juga supaya orang lain bisa ikut belajar dari pengalaman yang aku alamin. aku masih 18 tahun, takut belum bisa bedain mana yang harus dishare dengan orang lain dan mana yang baiknya disimpen diri sendiri:"")