Holla,
Apa kabar kalian semua? Pasti pada baik, kan?
Hari ini saya kembali lagi dengan postingan kolaborasi bareng Wulan Kenanga. Postingan ini merupakan yang kedua kalinya. Kalau sedang kehabisan ide biasanya kami selalu berkolaborasi untuk membuat postingan dengan tema yang sama. Biasanya bergantian, jika minggu ini giliran saya, maka selanjutnya jatahnya Wulan melemparkan teman.
Bagi saya kolaborasi model begini amat membantu di kala salah satu sedang kehabisan ide atau bahkan tidak ada gairah untuk menulis. Mungkin, kalian di luar sana harus mencoba deh metode seperti ini.
Oke, kembali ke topik.
Minggu ini, Wulan melemparkan tema yang cukup sensitif bagi para wanita yang mungkin tengah menanti sang belahan hati yang sampai sekarang belum kelihatan wujudnya, seperti diri saya sendiri. Sebenarnya, saya nggak mau membahas soal ini di blog, tapi berhubung sudah berkomitmen di awal. Ya sudah kalian bisa simak cerita atau mungkin lebih tepatnya curahan hati.
Rasanya, hampir 90 persen orang di dunia ini tidak menghabiskan masa tuanya dengan melajang sendirian, paling tidak ada seseorang yang menemani hari-hari untuk saling bercerita berkeluh kesah atau bahkan menyalurkan rasa cintanya kepada pasangan. Tentu saja setiap orang ingin menikah. Saya juga. Mau banget untuk menikah. Hanya saja kadang keinginan kita tidak sejalan dengan takdir Allah.
Dahulu, saat masih remaja salah satu mimpi saya adalah lekas menikah. Iya, menikah merupakan salah satu goal dalam hidup ini yang ingin saya wujudkan dengan cepat. Bahkan, saya pernah bilang pada diri sendiri bahwa saya ingin menikah di usia 25 tahun. Berkaca kepada kakak perempuan saya yang menikah di usia 23 tahun.
Sempat terbesit rasa iri ketika kakak perempuan saya bisa menikah di usia muda. Wih, usia masih kuliah tapi punya gandengan halal buat diajak kemana-mana. Waktu itu saya menunggu, siapa lelaki yang berani meminta saya kepada Papi. Tapi, gimana kalau pada akhirnya jodoh yang kamu tunggu itu tak juga datang? Sedangkan, teman sepermainanmu satu persatu mulai merajut indahnya hubungan rumah tangga.
Baper?
Iyes. Setiap kali datang ke acara nikahan. Hati saya rasanya mencelos. Membayangkan kapan saya akan duduk di atas pelaminan itu nantinya.
Saya ingat. Saya pernah merasa sangat teramat sedih ketika seorang sepupu yang sangat dekat dan bisa dibilang teman masa kecil menikah. Saya menangis sejadi-jadinya di kamar sehabis acara lamarannya. Dan, hati saya kembali tergores saat menyaksikan acara Ijab Kabul tersebut. Rasa haru bercampur marah menimbulkan efek yang luar biasa dalam dada.
Baca juga;
Entah mengapa saya merasa kalah saat itu. Padahal, pernikahan bukanlah sebuah perlombaan, tapi kemudian saya belajar membesarkan diri bahwa: tiap orang punya takaran tersendiri baik itu rejeki, anak, jodoh dan lainnya yang semuanya berasal dari Allah.
Seiringnya waktu saya merasa baik-baik saja saat mendengar salah satu sahabat SD saya pada akhirnya menikah. Saya bahkan mengucapkan selamat kepadanya sambil meminta doa bahwa saya akan segera menyusulnya juga.
Saya tahu di luaran sana banyak orang yang kepo dengan status lajang. Beberapa dari mereka mungkin bertanya-tanya kenapa di usia menjelang 32 tahun ini saya betah melajang. Berbagai komentar sering saya dapatkan saat mereka tahu saya masih sendiri.
Saya sih hanya bisa tersenyum.
Hei. Saya bukannya tak berusaha loh. Bukannya saya tak ingin menjalin ikatan suci yang diRahmati Allah. Hanya saja, belum saatnya.
Sama halnya seperti kalian yang sudah menikah tapi belum memiliki anak. Ada yang berusaha sedemikian rupa sampai bertahun-tahun belum juga dikaruniai momongan. Sama, kan?
Sejatinya soal jodoh, rizki dan anak itu adalah kuasa Allah. Dan cara Allah memberikannya berbeda-beda. Ada yang cepat dan lama.
Salam,